Setibanya di stasiun kereta atau JR Station, kami langsung bergegas memasuki bangunan stasiun. Bus kami meninggalkan kami untuk melanjutkan perjalanan menuju Osaka. Barang-barang berat seperti koper kami tinggalkan di bus. Sedangkan bawaan ringan seperti ransel dan barang-barang berharga tetap kami bawa. Seperti yang sudah diceritakan di awal tur, rundown acara yang diberikan harusnya kami menaiki bus dari Kyoto sampai Osaka. Namun tour leader kami Pak Singgih Hartanto memberikan opsi tambahan jika rombongan tur ingin mencoba menaiki shinkansen, pihak tur akan mengakomodasi aspirasi tersebut. Singkat cerita kami semua setuju untuk menggunakan shinkansen namun dengan tambahan biaya sebesar 3500 yen (tiket shinkansen + tiket kereta biasa untuk terusan). Sebetulnya Panorama tour juga memiliki opsi menggunakan shinkansen, namun bukan di paket tur yang saya dan rombongan pilih. Paket tour kami adalah Japan Wonderful Tour.
Kami turun dari bus dan berjalan cepat menuju stasiun karena jadwal kereta tidak dapat diganggu gugat. Kami harus menaiki kereta sesuai dengan jadwal yang terdekat, jika kelewatan, maka tentu kami harus menunggu jadwal kereta berikutnya. Saya tidak sempat mengambil foto bangunan JR Station atau pun situasi di dalam bangunan karena kami semua bergerak dengan cepat, tidak ada waktu untuk berhenti sesaat untuk foto-foto. Selain itu saya juga tidak menemukan lokasi foto yang pas yang menunjukkan bahwa saya berada di sebuah stasiun kereta.
Di dalam JR (Japan Railway) Station, saya melihat stasiun kereta yang tidak seperti stasiun kereta di Indonesia. Stasiun kereta di Jepang sudah seperti di bandara. Terdapat toko-toko perbelanjaan, outlet makanan, terang, ber-AC, bersih, dan suasana ticketing yang modern. Kita seperti sedang bertransaksi di bank ketimbang sedang membeli tiket kereta. Oh ya, tentu saja bangunannya dibawah tanah. Setelah berjalan cepat akhirnya kami disuruh menunggu di sebuah tempat, sedangkan pak Zul membelikan tiket untuk kami.
2 foto di atas adalah tiket shinkansen yang sama. Tidak ada bedanya, hanya bolak-balik saja. Saya tidak tahu yang mana bagian depan, mana yang bagian belakang. Setelah kami mendapatkan tiket masing-masing, kami diminta bergegas menuju ruang tunggu kereta di atas. Kami pun harus menaiki eskalator. Perlu pembaca ketahui ada perbedaan adab dalam menggunakan eskalator di Osaka dan daerah lain. Di Osaka, jika kita tidak ada keperluaan mendesak, sebaiknya kita menggunakan sisi kanan eskalator karena sisi kiri akan digunakan untuk orang yang sedang terburu-buru. Sedangkan di daerah lain seperti Tokyo, kita sebaiknya menggunakan sisi kiri eskalator karena sisi kanan akan digunakan untuk orang yang sedang terburu-buru dan membutuhkan jalur "bebas hambatan".
Untuk pengecekan tiket, tidak dilakukan di dalam kereta seperti kereta-kereta di Indonesia. Kita harus memasukan tiket kereta ke dalam sebuah mesin, portal penghalang terbuka, kemudian sambil berjalan, di ujung mesin kita ambil lagi tiketnya. Perlu diingat bahwa meskipun kita sudah memasukkan tiket , tiket yang sudah selesai diperiksa otomatis oleh mesin harus kita ambil lagi dan kita simpan selama di kereta karena pada saat turun dari kereta, tiket tersebut akan digunakan kembali. Tanpa tiket tersebut kita tidak bisa keluar dari stasiun karena kita harus melewati portal lagi untuk keluar.
Foto di atas adalah foto yang diambil di dalam gerbong kereta cepat shinkansen. Foto diambil oleh tour leader kami yaitu pak Singgih. Suasana di dalam kereta kondusif/tenang. Ekspektasi saya ketika menaiki shinkansen adalah kami akan dibawa dengan kecepatan tinggi, ternyata shinkansen tidak secepat yang saya bayangkan karena saya masih bisa melihat pemandangan di luar dengan jelas. Terdapat perbedaan yang saya rasakan antara suasana di dalam kereta Indonesia dengan suasana kereta shinkansen Jepang. Jika kita bayangkan kereta di Indonesia adalah tempat bersantai/istirahat, yang saya lihat dan rasakan kereta shinkansen benar-benar hanya seperti alat transportasi (hanya untuk berpindah tempat). Tidak ada yang tertawa, bercanda, dsbnya. Mayoritas yang ada di dalam gerbong adalah karyawan yang mungkin baru pulang kantor atau pelajar yang pulang dari sekolah bersama wali (orang tua?). Bahkan orang di sebelah saya masih bekerja menggunakan laptopnya dengan wajah serius. Mungkin hanya saya sendiri dan 2 orang wanita di kanan foto (anggota tur kami) yang ngobrol dan cengar-cengir di gerbong karena memang kami cuma turis (tidak ada beban & pikiran). Perjalanan kami memakan waktu 20 menit menuju terminal Osaka. Dari terminal Osaka kami akan melanjutkan perjalanan menggunakan kereta seperti KRL untuk transportasi di dalam kota.
Foto tersebut diambil ketika sudah sampai di terminal Osaka. Saya tidak sempat foto di awal karena memang kami harus segera masuk kereta. Setelah turun, kereta tersebut masih di stasiun menunggu jadwal keberangkatan berikutnya. Jeda tersebut kami manfaatkan untuk berfoto-foto.
kami turun menuju ke dalam bangunan stasiun untuk membeli tiket terusan menggunakan KRL. Seperti yang sudah saya tulis di atas, tiket shinkansen harus tetap disimpan karena akan digunakan saat kita turun memasuki bangunan dalam stasiun. Tiket akan dimasukkan kembali ke dalam mesin, namun bedanya kali ini tiket tidak akan keluar lagi. Jadi bagi yang ingin membuat memori kenang-kenangan, sebaiknya tiket segera difoto sebelum keluar, karena tiket tidak kita bawa pulang.
setelah berada di dalam bangunan stasiun, Pak Zul kembali membelikan kami tiket. Tiketnya berbeda dengan tiket shinkansen seperti yang tergambar pada foto di atas. Setelah masing-masing kami memegang tiket, kami kembali bergegas menuju ke atas menuju ruang tunggu kereta. Prosedurnya sama, tiket dimasukkan ke dalam mesin, nanti kita ambil lagi. Setelah sampai di stasiun tujuan, tiket kita gunakan lagi untuk keluar dan tidak kita ambil lagi (tidak dibawa pulang).
Bedanya KRL dengan shinkansen adalah, dari segi modern shinkansen lebih modern, KRL keretanya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Duduknya hanya di samping-samping, sedangkan di tengah gerbong untuk orang yang berdiri. Kami berhenti di beberapa stasiun, stasiun yang kami tuju adalah stasiun shinsaibashi. Saat kereta bergerak keluar stasiun, saya akhirnya melihat pemandangan kota Osaka. Dalam batin saya "akhirnya saya tiba juga di sini. Hari ini jarak saya dengan Osaka tidak sejauh biasanya. Saya akan melihat Osaka dari dekat dengan mata kepala saya sendiri". Kami melewati 3-4 stasiun sebelum akhirnya kami tiba di stasiun shinsaibashi. Setelah kami turun dari kereta dan keluar dari stasiun, kami tiba-tiba keluar dari sebuah mall perbelanjaan. Mungkin stasiun dan mall jadi satu. Ya, kami sudah tiba di shinsaibashi, destinasi berikutnya setelah Kyomizu Temple.
Kami dibriefing sebentar. Jam menunjukkan sekitar pukul 16.30 JST, jadwal kami adalah makan malam kemudian waktu bebas sampai jam 19.00 JST. Jam 19.00 JST kami sudah harus berkumpul di shinsaibashi di depan toko Zara yang berdekatan dengan toko Uniqlo. Ada anggota rombongan yang berpisah dengan kami karena mereka memiliki rekan di Osaka, mereka akan jalan-jalan sendiri dan nanti akan ke hotel diantar rekan mereka, tidak bareng kami. Saya pun mengikuti tour guide dan tour leader menuju tempat makan. Sesampainya di tempat makan, saya minta ijin untuk memisahkan diri dari rombongan dan tidak ikut makan malam karena saya ada agenda sendiri. Sehari sebelumnya memang saya sudah minta ijin kepada tour leader dan tour guide untuk memisahkan diri dan tidak ikut makan malam karena saya ingin memaksimalkan waktu saya di Osaka karena ada tempat yang ingin saya kunjungi. Saat itu saya ingat betul jam menunjukkan pukul 16.50 JST. Dalam hitung-hitungan saya, kalau saya ikut makan, dari pengalaman yang sudah-sudah selama tur di Jepang minimal akan menghabiskan waktu 30 menit di restoran. Saya hanya punya waktu 30-60 menit saja untuk waktu bebas kemudian kembali ke tempat kumpul.
Saya pun mengatur GPS di hp untuk membantu mengarahkan saya menuju tempat yang saya tuju. GPS menunjukkan saya hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk mencapai ke sana. Saya pun memantapkan hati "inilah tujuan saya datang ke Osaka". Saya mulai berjalan mengikuti petunjuk di GPS. Perlu pembaca ketahui, di daerah tersebut lokasinya adalah jalan dengan blok-blok. Setiap blok memiliki jalan kecil, ada pula jalan yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki.
Saya mengikuti panduan GPS di hp saya. GPS mengatakan belok ke kanan, saya ke kanan. GPS mengatakan ke kiri, saya pun ke kiri. Setelah beberapa waktu berjalan, saya mulai dibuat bingung oleh GPS. Pada saat GPS menyuruh saya belok ke kiri, saya pun ke kiri. Namun setelah saya ke kiri, GPS tersebut menyuruh saya untuk memutar balik melalui jalan yang tadi saya lewati. begitu pula sebaliknya. Singkat cerita, saya diajak bolak-balik, muter-muter jalan oleh GPS. Jam menunjukkan sekitar pukul 17.40 JST. Cuaca saat itu hujan dan suhu terasa dingin. Nafas saya mulai sedikit tersengal sehingga ketika saya berjalan, asap keluar dari mulut saya karena dinginnya temperatur. Saat itu saya berpikir, "baiklah, saya akan ikuti GPS ini sejauh yang saya bisa. Kalau dirasa semakin jauh dari tujuan alias ngawur, maka saya harus berhenti menggunakan GPS". Akhirnya saya terus mengikuti apa kata GPS tanpa protes karena asumsi saya GPS lebih tahu jalan dari saya. Singkat cerita jam sudah menunjukkan waktu sekitar pukul 17.50 JST dan saya masih belum sampai tempat tujuan. Saya cek GPS saya, jarak saya ke tempat tujuan adalah 15 menit. Ya, semakin jauh dari yang awalnya hanya 10 menit. Saya berpikir, "saya sudah mengikuti apa kata GPS selama 1 jam lebih dari 16.50 JST sampai saat ini tidak ada hasil. Jika saya masih mengikuti GPS, saya akan mendapatkan hasil yang sama". Kebetulan karena hujan semakin berat, layar hp saya pun sering basah terkena hujan dan sulit melihat peta GPS karena sebentar-sebentar harus saya lap.
Akhirnya saya tutup hp saya, saya ganti strategi dengan bertanya ke orang-orang. Tentu saja target utamanya adalah polisi, jika tidak ada polisi di sekitar situ, saya akan tanya orang biasa. Kebetulan di dekat situ ada pos polisi. Saya memang sengaja berhenti di daerah itu untuk membuat alternatif. Jika GPS tidak bisa diharapkan, saya stop di sini, tanya ke pos polisi. Ternyata takdir mengarah ke alternatif kedua. Saya datangi pos polisi dan bertanya ke polisi yang sedang berjaga di depan. Saya pun mendapat petunjuk arah jalan. Pak Polisi tersebut memang tidak langsung menunjukkan di mana ke tempat yang saya tuju (mungkin karena masih terlalu jauh), tapi intinya saya sudah dapat, bahwa tempat yang saya tuju ada di arah yang ditunjuk oleh polisi tersebut. Saya pun segera berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh polisi tersebut. Jika saya mulai bingung atau merasa tidak pasti, saya akan bertanya lagi di sana.
Ketika sudah saya jalani petunjuk arah dari polisi tadi, saya tiba di sebuah pinggir jalan besar. Saya mulai bingung ke mana saya harus pergi. Ikuti jalan yang mana? apa harus menyeberangi jalan besar? Saya pun segera mencari polisi lagi dan saya menemukannya. Saya merasa sangat terbantu karena ternyata di ujung-ujung jalan dan ujung blok selalu ada polisi yang menjaga/berpatroli. Kali ini saya bertanya dan polisi tersebut menyuruh saya menyeberangi jalan besar. Setelah menyeberangi jalan besar, saya harus ke kanan melewati 4 blok jalan. Baiklah, saya masih belum tahu lokasi tempat yang saya tuju, yang pasti saya harus melewati jalan besar, dan ke kanan sejauh 4 blok.
Setelah menyeberangi jalan besar, saya pun ke kanan berjalan melewati jalan sejauh 4 blok. Setelah itu saya mencari polisi lagi untuk bertanya. Saya menemukan polisi yang sedang berjaga disamping sepedanya. Kali ini pak polisi mengeluarkan peta dan mencoba menunjukkan arah jalan kepada saya. Saya menyadari peta yang dikeluarkan polisi tersebut dilapisi oleh plastik (seperti plastik yang membungkus STNK) sehingga peta tidak terkena hujan. Jadi ada 2 hal yang saya dapatkan, polisi di Jepang memiliki peta, kemudian peta tersebut dilapisi dengan plastik agar tidak terkena hujan. Kebetulan pada saat itu sedang hujan, jika tidak hujan mungkin saja saya tidak mengetahui fungsinya (mungkin hanya supaya lebih rapi dan awet). Saya tidak begitu hafal penjelasan polisi tersebut, yang saya tahu intinya adalah saya berjalan ke sebuah arah, dan lewati jembatan. Oh ya, pak polisi tersebut juga menggunakan bahasa Inggris sebisanya. Saya tahu harus melewati jembatan karena dia bilang "bridge". Setelah itu saya kembali melanjutkan perjalanan.
Rupanya inilah yang dimaksud polisi tadi bahwa saya harus melewati jembatan. Jembatan terkenal di Dotonburi. Ketika saya berjalan dan melihat sungai di tengah kota dan jembatan-jembatan tersebut, harapan/optimisme saya kembali muncul karena saya tahu lokasi yang saya tuju tidak jauh dari lokasi ini walau saya masih belum tahu persisnya di mana.
Saya pun menyempatkan berfoto di ikon kota Osaka yaitu monumen (?) Glico. Gambar orang yang sedang berlari mengangkat 1 kaki dan kedua tangannya. Biasanya orang-orang berfoto di depan gambar tersebut sambil menirukan pose Glico tersebut. Namun sayangnya saya tidak bisa melakukannya karena saat itu saya sendiri (tidak ada orang di sekitar saya) dan jika saya mengangkat kedua tangan saya, siapa yang akan memotret saya? Pada saat itu saya merasa seperti orang bodoh karena mengabaikan logika saya. Mana ada orang yang sedang tersesat jalan, buru-buru, masih belum tahu berapa jauh lagi lokasi yang dituju, waktu semakin sempit, tapi masih sempat berfoto-foto.
Foto kedua adalah foto peta di dekat jembatan Dotonburi tersebut. Saya mencoba membaca peta dan mencari lokasi yang saya tuju tapi lokasi yang saya tuju tidak ada di peta tersebut. Akhirnya saya foto saja kalau-kalau saya gagal ke lokasi yang saya tuju, paling tidak, saya ada petunjuk arah pulang atau patokan saya berada di mana jika akhirnya saya jadi anak hilang.
Saya kembali bertanya ke polisi di daerah sekitar situ. Saya diberikan petunjuk arah jalan lagi dan saya kembali mengikuti petunjuk yang sudah diberikan. Saya kembali memasuki kawasan pertokoan seperti yang ada di Shinsaibashi. Ada Bic Camera, McD, toko pakaian, toko emas, toko jajanan, dsbnya. Jalan pertokoan tersebut hanya bisa dilalui pejalan kaki sama seperti di Shinsaibashi. Setelah saya melewati pertokoan, saya kembali kehilangan arah. Kali ini saya tidak menemukan polisi karena mungkin berada di gang kecil. Akhirnya saya bertanya ke pelayan toko makanan ringan (seperti cafe) yang sedang membersihkan meja-meja di luar toko. Saya berani bertanya karena pelayannya masih muda, asumsi saya kalau masih muda mestinya lebih ramah dibandingkan yang tua. Saya bertanya ke pelayan tersebut, pelayan tersebut tahu lokasi yang saya maksud. Dia langsung menunjukkan jalan, saya tinggal lurus saja kemudian belok ke kiri. Setelah mengucapkan terima kasih, saya kembali berjalan.
Ketika saya berjalan, saya tiba di sebuah gang kecil di mana di kiri jalan hanyalah tembok kosong, dan di kanan jalan terdapat seperti sebuah mall tapi tidak terlalu mewah (kalau di sini mungkin seperti ITC). Ketika saya berjalan melewati daerah tersebut saya pun tersadar ketika menoleh ke kanan "loh, ini dia lokasi yang saya cari!". Ya, lokasi yang saya cari persis ada di depan bangunan tersebut. Yang terlihat memang hanya pintu masuknya saja karena bangunannya ada di bawah tanah. Saya pun berfoto-foto sebentar untuk mengabadikan momen tersebut. Tempat yang saya cari selama ini, akhirnya kesampaian juga. Pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 18.10 JST. Saya bergegas menuju lokasi kedua yang saya tuju karena letaknya berdekatan. Saya bertanya sekali lagi ke orang yang sedang lewat, saya ditunjuki jalan lurus saja, tempatnya di sebelah kiri. Saya pun jalan sebentar dan sudah sampai di lokasi kedua. Tempat tersebut menjual aneka merchandise. Saya melihat-lihat sebentar dan menentukan apa saja yang ingin saya beli sekaligus membelikan titipan teman di Indonesia. Jam sudah menunjukkan pukul 18.20 JST, saatnya memikirkan jalan pulang. Saya kembali membuka GPS saya dan mengatur untuk mengarahkan saya ke Zara di Shinsaibashi, tempat berkumpul yang sudah ditentukan. Bedanya, hasil peta yang ditunjukkan oleh GPS, saya screenshot saja. Jalan demi jalan saya screenshot. Saya tidak mau lagi mengikuti petunjuk GPS Belok kanan atau kiri. Saya cukup lihat dari screenshot yang sudah saya ambil.
Sekitar 18.25 JST saya mulai bergerak menuju arah pulang. Saya tidak tahu apakah saya akan sampai tepat waktu atau tidak mengingat saya menghabiskan waktu 1 jam lebih untuk sampai ke situ dari 16.50 JST sampai 18.10 JST, entah berapa lama saya akan sampai ke lokasi tempat berkumpul. Saya menelusuri jalan, melewati pertokoan, saya kembali melewati Bic Camera di ujung pertokoan yang sudah saya lewati ketika menuju lokasi pertama. Dari Bic Camera saya menyeberangi jalan besar menggunakan zebra cross. Sambil menunggu lampu hijau bagi para penyeberang jalan, ada sepasang pengantin yang menggunakan gaun lengkap & tuxedo lengkap berfoto dengan latar belakang jalan besar. Pemandangan tersebut cukup unik buat saya dan menjadi tontonan saya sambil menunggu. Setelah lampu hijau bagi penyeberang jalan, saya kembali melanjutkan jalan menyeberangi jalan besar tersebut dan sampailah saya di ujung sebuah pertokoan. Dari screenshot GPS yang saya ambil tadi, saya hanya perlu jalan lurus saja sepanjang pertokoan tersebut (mungkin 1 km). Saya jalan lurus diantara keramaian orang-orang yang juga berjalan di pertokoan tersebut. Terkadang saya sambil lari kecil jika ada space cukup longgar karena memang kondisinya ramai sekali, bahkan untuk menyalip orang yang di depan saja sulit. Akhirnya saya melihat logo Uniqlo di ujung jalan. Toko Zara ada disampingnya. Saya pun segera mempercepat jalan saya mencapai lokasi tersebut. Saya tiba di tempat berkumpul sekitar pukul 18.40 JST dan saya adalah orang pertama dari rombongan tur yang tiba di tempat berkumpul. Hanya 20 menit perjalanan saja dari lokasi kedua tadi menuju lokasi tempat berkumpul di Shinsaibashi.
Saya pun merasa lega dan merasa takjub bagaimana perjalanan pergi menghabiskan waktu sejam lebih, berhasil pulang dalam tempo 20 menit. Saya pun menyadari letak error perjalanan saya. Sejak awal GPS saya disetting untuk perjalanan menggunakan mobil. Saya lupa dan tidak sadar bahwa settingan tersebut harus diubah jika kita ingin menggunakannya dengan berjalan kaki. Maka dari itu selalu terjadi pengalihan jalan/arah karena memang jalan yang saya lalui banyak yang tidak bisa dilalui mobil, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau sepeda. Jadi yang seharusnya 20 menit sampai dengan jalan hanya lurus-lurus saja, menjadi muter-muter karena GPS harus mencari jalan yang bisa dilewati oleh mobil. Bayangkan saja berapa banyak jalan yang saya lewati yang tidak bisa dilalui mobil. Mulai dari menyeberang jalan besar menggunakan zebra cross, jembatan Dotonbori, pertokoan, bahkan tempat yang saya ingin tuju pun tidak bisa dilalui oleh mobil. Yang terpikir oleh saya sebelumnya adalah GPS sama saja, hanya menunjukkan rute tidak peduli kita menaiki kendaraan atau jalan kaki. Saya baru sadar ketika kembali mengecek apa yang salah dari GPS saya. Ketika saya lihat, ternyata ada opsi settingan untuk jalan kaki. Mungkin kalau sebelumnya saya ubah settingannya untuk yang berjalan kaki, hasilnya jadi berbeda.
Akhirnya jam 19.00 JST kami sudah berkumpul semua dan menuju bus kami yang sudah menunggu di lokasi yang sudah ditentukan. Kami berjalan sekitar 10 menit. Sekitar 19.10 - 19.15 JST kami menaiki bus kami yang jalan dari Kyoto, menuju hotel di area Kansai. Di perjalanan menuju hotel, saya sudah tidak terlalu konsentrasi lagi melihat jalan karena masih terbayang-bayang misi saya kesampaian juga. Ditambah bagaimana hal yang diluar dugaan terjadi kepada saya, yaitu nyasar, dan ajaibnya saya bisa kembali paling pertama. Ada sedikit rasa penyesalan bagi saya seandainya saya tidak nyasar, saya bisa lebih berlama-lama di lokasi yang saya tuju dan mencicipi makanan pinggir jalan kota Osaka. Saya berharap bisa mencicipi takoyaki asli/langsung di Osaka, tapi itu tidak tercapai. Namun kekecewaan saya tersebut boleh dibilang "dibayar" oleh pengalaman luar biasa yang bisa saya ceritakan kepada orang-orang bahwa saya pernah nyasar di negeri orang dan saya bisa survive kembali tepat waktu. Ya, saya tidak saja hanya nyasar, tapi saya harus kembali tepat waktu. Jika saya tidak kembali tepat waktu, bisa jadi saya ditinggal dan harus ke hotel sendiri atau menimbulkan masalah bagi tour leader dan tour guide saya.
Pemandangan kota Osaka di malam hari cukup indah. Seingat saya kota Osaka di malam hari terlihat gedung-gedung besar dan cukup padat namun juga terlihat perairan di pinggir kota (entah laut darimana). Saya berpikir "Osaka akan sangat menarik untuk dijelajahi lebih jauh". Perjalanan menuju hotel tidak begitu lama, mungkin hanya 20-30 menit saja. Kami akan bermalam di Kansai Bellevue Garden.
Sesampainya di hotel, hal yang harus saya lakukan adalah mencari makan malam. Seperti biasa kami dikumpulkan di lobi hotel menunggu kunci hotel dibagikan oleh Pak Zul. Setelah mendapatkan kunci, saya langsung naik lift menuju kamar hotel. Saya taruh koper dan tas saya, melepas sepatu dan mengganti dengan sandal hotel. Saya turun lagi kebawah untuk keluar hotel. Di lobi hotel saya kembali bertemu dengan Pak Zul dan Pak Singgih yang sepertinya masih sibuk dengan urusan hotel dan pembagian oleh-oleh yang kami pesan. Pak Zul dan Pak Singgih menyapa saya dan bertanya mau ke mana. Saya jawab "mau keluar pak, cari makan di luar". Mereka melihat saya akan keluar dan menggunakan sandal hotel, ternyata kata mereka sendal hotel tidak boleh dibawa keluar. Akhirnya saya kembali naik ke atas dan menggantinya dengan sepatu karena saya memang tidak membawa sendal.
Saya pun turun lagi dan keluar hotel. Di depan hotel kami tidak jauh terdapat supermarket (saya lupa namanya). Saya pun menuju ke sana untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Saya berjalan melewati parkirannya yang cukup luas dan masuk ke dalamnya. Saya jelajahi satu per satu raknya, namun menurut saya tidak ada yang cocok untuk makan malam. Rata-rata yang ada adalah cemilan-cemilan kering seperti biskuit, ciki (?), snack-snack ringan, makanan-makanan yang dikeringkan, makanan yang dibekukan, mie instan, dsbnya. Ada pula tempat makan seperti foodcourt kecil tapi saya tidak berani makan di situ. Selain harga tentu lebih mahal (rata-rata makanan seporsi 1000 yen), saya juga tidak tahu apakah halal atau tidak karena saya lihat ada menu seperti bakso-baksoan / pangsit-pangsitan rebus, ada juga mungkin seperti nasi goreng tapi saya tidak tahu daging apa yang digunakan. Akhirnya saya keluar lagi.
Di dekat situ saya tahu ada Seven Eleven, karena itu saya berani keluar dari supermarket tanpa membawa apa-apa. Saya dengar salah satu tips bagi para backpackers adalah makan makanan dari konbini (convenient store alias minimarket) karena harganya murah. Jadi memang sebetulnya saya akan ke Seven Eleven jika tidak ada sesuatu yang worth it dibeli di supermarket. Kebetulan di Indonesia pun saya tidak asing dengan Seven Eleven. Sambil jalan memasuki toko saya sempatkan foto tokonya. Di dalam toko saya melihat-lihat isinya. Tidak beda jauh dengan Seven Eleven di Indonesia. Di rak-raknya tidak ada yang menarik untuk saya makan. Saya beralih ke bagian "makanan angetan". Nah, di situ banyak pilihan. Ada onigiri, sandwich, pasta, burger, nasi-nasian, dsb. Saya pun melihat-lihat harganya sekaligus melihat mana yang kira-kira halal dimakan. Singkat cerita, saya pilih onigiri dan ada beberapa jenis onigiri yang saya pilih. Selain onigiri saya juga membeli nasi kare karena sejak kecil, saya penasaran dengan nasi kare di Jepang karena sering muncul di anime-anime. Setelah bertransaksi dan makanan saya dihangkatkan menggunakan microwave, saya kembali ke hotel.
Sampai di kamar hotel, saya foto terlebih dahulu sebagai kenang-kenangan. Saya membeli 4 buah onigiri dan satu porsi nasi kare dengan total harga 910 yen. Harga onigiri berkisar 100-200 yen, sedangkan nasi kare sekitar 600 yen. Saya memilih onigiri topping telur ikan, onigiri isi telur ayam mentah, dan 2 onigiri biasa. Saya memang penasaran dengan rasa onigiri isi telur mentah, karena di Jepang telur mentah adalah makanan yang wajar dan sehat. Kemudian, menurut saya rasanya di Indonesia tidak mungkin menemukan orang menjual makanan dengan lauk telur mentah.
Saya pun memakannya satu per satu karena memang sudah lapar belum makan dari siang. Onigiri biasa dan onigiri topping telur ikan rasanya biasa-biasa saja dalam artian enak dan layak makan tapi bukan yang enak banget sehingga perlu direkomendasikan ke orang-orang kalau ke Jepang. Biasa saja tapi enak dan layak makan. Sedangkan rasa onigiri isi telur mentah cukup unik. Kuning telurnya tidak terasa amis atau mentah, namun tetap terasa mild (?). Jadi seperti memakan onigiri isi mentega/margarin yang sudah dipanaskan (cair), namun kalau mentega/margarin mungkin rasanya akan asin sedangkan onigiri isi telur mentah ini tidak ada rasanya.
Menu terakhir adalah nasi kare. Saya terkejut ternyata karenya menggunakan daging, bukan ayam. Dalam bayangan saya (mungkin karena tinggal di Indonesia) kare itu ya pakai ayam. Saya pun ragu apakah ini daging sapi atau bukan. Saya coba cicipi sedikit dagingnya, rasanya mirip daging sapi. Dalam batin saya, saya sudah terlanjur beli. Saya juga tidak tahu pasti apakah ini bukan daging sapi. Rasa kuah karinya terlalu menggoda untuk dibuang. Jadi saya putuskan makan saja. Beda dengan jika saya memang tahu persis itu bukan daging sapi. Saya berdoa saja seandainya itu memang bukan daging sapi, Tuhan mau memaafkan saya karena ketidaktahuan saya. Saya pun tidak tinggal diam, ketika saya sudah sampai di Indonesia saya langsung mencari tahu di internet daging apa yang biasa digunakan orang Jepang untuk membuat kari. Memang ada preferensi lain menggunakan daging selain sapi, tapi rata-rata ternyata memang menggunakan daging sapi. Kecurigaan saya pada harga juga dibantah di suatu sumber yang saya baca. Orang tersebut makan nasi kare daging sapi di sebuah restoran murah dengan hanya 500 yen per porsi, bahkan lebih murah dibanding harga yang saya beli di Seven Eleven. Jadi dari hasil pencarian saya, cukup meyakinkan bahwa besar kemungkinan yang saya makan adalah daging sapi.
Setelah menghabiskan makan malam, saya bergegas untuk mandi dan kemudian tidur. Dalam ingatan saya, biasanya sebelum tidur saya menyempatkan untuk menulis catatan harian di hari tersebut. Tapi mungkin pertimbangan saya saat itu adalah toh besok juga sudah akan pulang. Apalagi Petualangan di Osaka sangat berkesan bagi saya, jadi tidak mungkin saya lupakan dalam waktu singkat. Jadi mungkin pada saat itu saya memang tidak mencatatnya. Selesai.
Pemandangan kota Osaka di malam hari cukup indah. Seingat saya kota Osaka di malam hari terlihat gedung-gedung besar dan cukup padat namun juga terlihat perairan di pinggir kota (entah laut darimana). Saya berpikir "Osaka akan sangat menarik untuk dijelajahi lebih jauh". Perjalanan menuju hotel tidak begitu lama, mungkin hanya 20-30 menit saja. Kami akan bermalam di Kansai Bellevue Garden.
Sesampainya di hotel, hal yang harus saya lakukan adalah mencari makan malam. Seperti biasa kami dikumpulkan di lobi hotel menunggu kunci hotel dibagikan oleh Pak Zul. Setelah mendapatkan kunci, saya langsung naik lift menuju kamar hotel. Saya taruh koper dan tas saya, melepas sepatu dan mengganti dengan sandal hotel. Saya turun lagi kebawah untuk keluar hotel. Di lobi hotel saya kembali bertemu dengan Pak Zul dan Pak Singgih yang sepertinya masih sibuk dengan urusan hotel dan pembagian oleh-oleh yang kami pesan. Pak Zul dan Pak Singgih menyapa saya dan bertanya mau ke mana. Saya jawab "mau keluar pak, cari makan di luar". Mereka melihat saya akan keluar dan menggunakan sandal hotel, ternyata kata mereka sendal hotel tidak boleh dibawa keluar. Akhirnya saya kembali naik ke atas dan menggantinya dengan sepatu karena saya memang tidak membawa sendal.
Saya pun turun lagi dan keluar hotel. Di depan hotel kami tidak jauh terdapat supermarket (saya lupa namanya). Saya pun menuju ke sana untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Saya berjalan melewati parkirannya yang cukup luas dan masuk ke dalamnya. Saya jelajahi satu per satu raknya, namun menurut saya tidak ada yang cocok untuk makan malam. Rata-rata yang ada adalah cemilan-cemilan kering seperti biskuit, ciki (?), snack-snack ringan, makanan-makanan yang dikeringkan, makanan yang dibekukan, mie instan, dsbnya. Ada pula tempat makan seperti foodcourt kecil tapi saya tidak berani makan di situ. Selain harga tentu lebih mahal (rata-rata makanan seporsi 1000 yen), saya juga tidak tahu apakah halal atau tidak karena saya lihat ada menu seperti bakso-baksoan / pangsit-pangsitan rebus, ada juga mungkin seperti nasi goreng tapi saya tidak tahu daging apa yang digunakan. Akhirnya saya keluar lagi.
Di dekat situ saya tahu ada Seven Eleven, karena itu saya berani keluar dari supermarket tanpa membawa apa-apa. Saya dengar salah satu tips bagi para backpackers adalah makan makanan dari konbini (convenient store alias minimarket) karena harganya murah. Jadi memang sebetulnya saya akan ke Seven Eleven jika tidak ada sesuatu yang worth it dibeli di supermarket. Kebetulan di Indonesia pun saya tidak asing dengan Seven Eleven. Sambil jalan memasuki toko saya sempatkan foto tokonya. Di dalam toko saya melihat-lihat isinya. Tidak beda jauh dengan Seven Eleven di Indonesia. Di rak-raknya tidak ada yang menarik untuk saya makan. Saya beralih ke bagian "makanan angetan". Nah, di situ banyak pilihan. Ada onigiri, sandwich, pasta, burger, nasi-nasian, dsb. Saya pun melihat-lihat harganya sekaligus melihat mana yang kira-kira halal dimakan. Singkat cerita, saya pilih onigiri dan ada beberapa jenis onigiri yang saya pilih. Selain onigiri saya juga membeli nasi kare karena sejak kecil, saya penasaran dengan nasi kare di Jepang karena sering muncul di anime-anime. Setelah bertransaksi dan makanan saya dihangkatkan menggunakan microwave, saya kembali ke hotel.
Sampai di kamar hotel, saya foto terlebih dahulu sebagai kenang-kenangan. Saya membeli 4 buah onigiri dan satu porsi nasi kare dengan total harga 910 yen. Harga onigiri berkisar 100-200 yen, sedangkan nasi kare sekitar 600 yen. Saya memilih onigiri topping telur ikan, onigiri isi telur ayam mentah, dan 2 onigiri biasa. Saya memang penasaran dengan rasa onigiri isi telur mentah, karena di Jepang telur mentah adalah makanan yang wajar dan sehat. Kemudian, menurut saya rasanya di Indonesia tidak mungkin menemukan orang menjual makanan dengan lauk telur mentah.
Saya pun memakannya satu per satu karena memang sudah lapar belum makan dari siang. Onigiri biasa dan onigiri topping telur ikan rasanya biasa-biasa saja dalam artian enak dan layak makan tapi bukan yang enak banget sehingga perlu direkomendasikan ke orang-orang kalau ke Jepang. Biasa saja tapi enak dan layak makan. Sedangkan rasa onigiri isi telur mentah cukup unik. Kuning telurnya tidak terasa amis atau mentah, namun tetap terasa mild (?). Jadi seperti memakan onigiri isi mentega/margarin yang sudah dipanaskan (cair), namun kalau mentega/margarin mungkin rasanya akan asin sedangkan onigiri isi telur mentah ini tidak ada rasanya.
Menu terakhir adalah nasi kare. Saya terkejut ternyata karenya menggunakan daging, bukan ayam. Dalam bayangan saya (mungkin karena tinggal di Indonesia) kare itu ya pakai ayam. Saya pun ragu apakah ini daging sapi atau bukan. Saya coba cicipi sedikit dagingnya, rasanya mirip daging sapi. Dalam batin saya, saya sudah terlanjur beli. Saya juga tidak tahu pasti apakah ini bukan daging sapi. Rasa kuah karinya terlalu menggoda untuk dibuang. Jadi saya putuskan makan saja. Beda dengan jika saya memang tahu persis itu bukan daging sapi. Saya berdoa saja seandainya itu memang bukan daging sapi, Tuhan mau memaafkan saya karena ketidaktahuan saya. Saya pun tidak tinggal diam, ketika saya sudah sampai di Indonesia saya langsung mencari tahu di internet daging apa yang biasa digunakan orang Jepang untuk membuat kari. Memang ada preferensi lain menggunakan daging selain sapi, tapi rata-rata ternyata memang menggunakan daging sapi. Kecurigaan saya pada harga juga dibantah di suatu sumber yang saya baca. Orang tersebut makan nasi kare daging sapi di sebuah restoran murah dengan hanya 500 yen per porsi, bahkan lebih murah dibanding harga yang saya beli di Seven Eleven. Jadi dari hasil pencarian saya, cukup meyakinkan bahwa besar kemungkinan yang saya makan adalah daging sapi.
Setelah menghabiskan makan malam, saya bergegas untuk mandi dan kemudian tidur. Dalam ingatan saya, biasanya sebelum tidur saya menyempatkan untuk menulis catatan harian di hari tersebut. Tapi mungkin pertimbangan saya saat itu adalah toh besok juga sudah akan pulang. Apalagi Petualangan di Osaka sangat berkesan bagi saya, jadi tidak mungkin saya lupakan dalam waktu singkat. Jadi mungkin pada saat itu saya memang tidak mencatatnya. Selesai.